Para siswa berebut. Masing-masing ingin tokoh pahlawan pilihannya belum diambil orang lain.
“Aku tadi mendaftarkan Presiden Soekarno, kata Bu Ratna sudah ada yang ambil.”
“Aku juga kemarin mendaftarkan nama Bung Tomo. Ternyata sudah ada yang ambil,” ujar Pandu kecewa. Ia sangat berharap bisa menceritakan tentang Bung Tomo, pahlawan yang memimpin pertempuran di kota tempat tinggal mereka.
“Jangankan pahlawan nasional. Aku daftarkan tokoh ibu sebagai pahlawan saja sudah keduluan,” kata Heru.
Ketiga anak itu pulang dengan kecewa.
***
“Anak-anak, ada sepuluh orang lagi yang belum menyetorkan tokoh pahlawan ke Ibu. Tidak perlu berkecil hati, bukalah mata lebar-lebar dan pedulilah pada apapun yang ada di sekitar kalian. Kelak kalian akan menemukan tokoh pahlawan yang ada di kehidupan kalian,” pesan Bu Ratna.
Pandu berpikir keras sepulang sekolah. Dua hari menjelang batas akhir pendaftaran nama tokoh pahlawan dan ia belum punya nama untuk disetorkan. Pandu duduk di kursi taman sekolah dan melihat suasana sekolah yang lengang. Terlihat Pak Maman sedang mengumpulkan sampah dari kelas ke kelas untuk dibuang pada tempat sampah besar di belakang sekolah.
Aha!
Pandu segera berdiri dari tempat duduknya. Ia menghampiri Pak Maman dan menawarkan bantuan. Sambil membantu, ia mengobrol dengan Pak Maman. Pandu jadi tahu tentang asal, keluarga, dan kehidupan Pak Maman.
Hari Festival Pahlawan Sekolah pun tiba. Acara ini disaksikan oleh para guru, staf, siswa, serta orang tua siswa.
Pandu maju dengan pecaya diri.
“Tokoh pahlawan yang saya pilih ada di dekat kita semua. Beliaulah Pak Maman. Bapak yang senantiasa menjaga kebersihan dan kenyamanan sekolah kita. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Pak Maman pergi jauh dari kampungnya di Banyuwangi untuk mencari nafkah bagi keluarganya serta untuk biaya pengobatan ibunya yang sakit kanker....” Pandu menceritakan kisah Pak Maman.
Tak disangka, selesai bercerita kepala sekolah maju dan mengumumkan bahwa sekolah akan membantu Pak Maman dengan mengumpulkan sumbangan dari siswa, orang tua, dan guru.
Pak Maman yang juga menyaksikan Festival Pahlawan Sekolah menangis terharu.
Bu Ratna merangkul Pandu, “Nak, hari ini bukan hanya kami yang menyadari bahwa Pak Maman adalah pahlawan kita semua. Kamu juga sudah menjadi pahlawan bagi Pak Maman.”