Thursday, January 10, 2019

Hemat Tisu untuk Hutanku



“Mbak, tolong ambilkan tisu,” kata Ari. Ia baru saja tanpa sengaja menumpahkan susu di lantai.
Rani enggan. “Pakai lap saja, Ri.”
“Duh kalau pakai lap nanti Ari perlu cuci sama jemur dulu. Ribet Mbak. Kalau tisu kan tinggal buang,” tawar Ari.
Rani tetap pada pendiriannya. “Pakai lap saja, Ri.”
Ari kesal. Ia berjalan mengambil tisu. “Kalau Mbak Rani tidak mau, Aku bisa ambil sendiri,” katanya bersungut-sungut. Rani hanya menggelengkan kepalanya.
Rani sangat hemat menggunakan tisu. Dan ini sangat berkebalikan dengan Ari adiknya. Debu sedikit, lap pakai tisu. Basah sedikit, lap pakai tisu. Kuah sup tumpah sedikit, ambil tisu baru. Mengaduk susu terlalu cepat sampai memercikkan isinya ke luar, lap dengan tisu. Mulutnya cemong setelah menghabiskan susu, ambil tisu baru. Jika air tumpah di lantai, berarti akan banyak tisu yang dikorbankan.
Sudah sering Rani mengingatkan Ari untuk menghemat tisu. Tapi adiknya masih saja boros. Ari merasa persediaan tisu selalu ada dan bebas dipakai kapan saja.
***
Pekan ini Ari dan Rani pergi ke rumah mbah di Gunungkidul. Mereka akan tinggal di sana selama lima hari sepanjang liburan masa ujian nasional sekolah. Sudah hampir enam bulan mereka tidak ke sana. Keduanya kangen sekali. Meskipun sama-sama di Provinsi Yogyakarta, ada saja penghalang yang membuat mereka belum mengunjungi kakeknya 6 bulan terakhir ini.
Ari dan Rani sangat suka mendatangi rumah mbahnya di Gunungkidul. Posisi rumah mbah ada di dataran tinggi yang jauh dari hingar bingar dan kemacetan Kota Yogyakarta yang semakin menjadi. Sampai di sana, mbah kakung yang masih terlihat sehat dan bugar menunnggu Rani dan Ari di depan rumah. Mbah putri sepertinya masih beres-beres di dalam rumah.
“Selamat datang cucu-cucuku!” sambut mbah kakung. Ari langsung memeluk, disusul oleh Rani.
Setelah ayah bercakap-cakap sebentar dengan mbah kakung dan mbah putri, ayah pamit pulang dan berjanji akan menjemput lima hari berikutnya.
Ari dan Rani menjalani rutinitas sehari-hari di rumah kakek kecuali sekolah. Kegiatan sekolah diganti dengan menemani mbah kakung ke sawah atau ke hutan kecil dekat rumahnya untuk mengontrol petak sawah dan petak pepohonan yang mbah kakung punya. Kadang-kadang jika diperlukan, mbah kakung juga mencari kayu bakar di hutan. Keduanya suka sekali setiap diajak berjalan-jalan ke sawah maupun hutan.
Pagi pertama di rumah mbah. Ari dan Rani sarapan sop ayam hangat buatan mbah putri. Ari bertugas membawa nasi, lauk pauk, serta sayuran dari dapur ke meja makan. Rani membantu mbah putri membereskan dapur.
Saat membawa mangkuk sup dari dapur, isi mangkuk yang terlalu penuh dan jalan yang tidak stabil membuat kuah sup tumpah sedikit ke lantai. Ari menuntaskan tugasnya sampai mangkuk sup ada di atas meja dan bergegas mencari tisu. Sayangnya, ia hanya menemukan sedikit tisu di ruang tamu.
“Mbah Putri, Ari boleh ambil tisu di ruang tamu?” tanya Ari di pintu dapur.
“Monggo Nduk, ambil saja,” jawab mbah putri sembari mengelapi kompor.
“Tapi tinggal sedikit, Mbah. Ari takut habis tisunya.”
“Lha memangnya mau buat apa?” Mbah putri beranjak mendekati Ari.
“Ngelap kuah sop yang tumpah, Mbah,” kata Ari.
“Kalau ini pakai lap saja Ri. Mbah ambilkan ya.” Ari tidak bisa menolak lagi. Ini bukan di rumahnya yang punya banyak persediaan tisu.
Ari terpaksa mengelap kuah sup yang tumpah mengenakan lap. Pertama, ia lap dengan lap kering, lalu ia lap lagi dengan lap yang sudah dibasahi air, terakhir, ia lap lagi dengan lap kering agar tidak membuat orang yang melewatinya terpeleset.
“Tuh Ri, biasakan mengelap pakai lap saja,” bisik Kak Rani. Ari hanya menanggapinya dengan cemberut. Kakaknya pasti merasa menang kali ini.
Jam tujuh saat semua sudah selesai sarapan dan mandi, Mbah Kakung mengajak mereka ke sawah lalu ke petak pohon mangga yang mbah kakung miliki di hutan. Di usianya yang menjelang tujuh puluh, Mbah kakung sudah tidak bertani dan berkebun secara aktif. Ia mengontrol dan melakukan kunjungan pada sawah dan pohon-pohonnya yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja padanya.
Ari dan Rani melangkah dengan semangat. Apalagi saat ke kebun buah, mereka sangat menyukai buah mangga.
“Ari, Rani, tahu nggak, pohon-pohon ini bukan hanya menghasilkan buah, tapi juga kehidupan. Kalau hujan, pohon meresap air sehingga tidak terjadi banjir. Sirkulasi udara dan fotosintesis daun-daunnya pun menghasilkan oksigen. Kerimbunannya membuat kita merasa sejuk,” kata mbah kakung. Ari dan Rani menyimak. Mereka suka sekali kalau mbah kakung sudah mulai bercerita. Saat ini mereka sedang duduk di bawah salah satu pohon yang paling besar dan rindang.
“Nah, ada juga pohon-pohon yang dimanfaatkan kayunya untuk membangun rumah, jembatan, taman rekreasi, maupun digunakan untuk membuat perabotan seperti kursi, meja, dan lemari. Bahkan sampai yang tidak terasa, dan dekat sekali dengan anak sekolahan seperti kalian adalah kertas buku pelajaran sekolah kalian.”
“Kertas itu dari pohon Mbah?”
“Iya, kertas asal mulanya dari pohon, diolah di pabrik dengan teknologi yang hebat sehingga bisa menjadi lembaran-lembaran kertas. Bahkan bisa setipis kertas tisu juga.”
“Ari kaget. Lho, tisu juga dari pohon? Wah canggih sekali ya perkembangan teknologinya. Dari kayu yang tebal sampai jadi tisu yang tipis dan lembut,” ujar Ari takjub.
“Begitulah Nak. Dekat sekali bukan dengan kebiasaan kita sehari-hari? Dan tanpa sadar, pemakaian kita mengurangi jumlah pohon-pohon ini.”
Ari tertohok. Semakin boros ia memakai, maka semakin banyak pula pohon yang ditebang untuk itu. Ah, padahal ia suka sekali kalau diajak mbah kakung ke kebunnya. Rimbun dan sejuk, membuat tenang.
“Sebenarnya perusahaan-perusahaan yang membuat kertas dan tisu tahu nggak sih Mbah lama kelamaan pohon bisa habis kalau begitu terus?” tanya Rani.
“Mereka tentu saja tahu. Mereka orang-orang pintar, Nak. Ada perusahaan yang melakukan penanaman kembali, tapi ada juga yang tidak. Yang saat ini bisa dilakukan oleh kita untuk mengurangi pohon yang ditebang berarti apa coba tebak?”
“Hmm, menggunakan kertas bekas atau yang baru dipaaki satu sisi, Mbah?” tebak Rani.
“Benar, apa lagi kira-kira?”
“Membuat kerajinan tangan menggunakan kertas bekas, tidak buang-buang kertas, menggunakan kertas untuk yang perlu saja...” Rani mengingat-ingat, tanpa sadar ia masih suka boros kalau membuat mainan dari kertas baru bersama teman-temannya.
“Hemat pakai tisu!” sahut Ari tiba-tiba. Ia mengingat dirinya sendiri sekaligus malu karena perbuatannya selama ini sedikit demi sedikit mengurangi pohon-pohon yang ada di hutan.
“Benar! Kalian semua pintar-pintar ya,” kata mbah kakung bangga.
“Cucunya siapa duluuu,” kata Rani. Mbah kakung tersenyum. “Eh, tapi kamu beneran mau hemat tisu?” tanya Rani pada adiknya tak percaya.
“Aku mau belajar hemat tisu Mbak,” kata Ari mantap. “Enggak kebayang juga kalau nanti pohon-pohon pada berkurang, terus hutannya jadi gundul. Padahal kan enak adem kalau di bawah pohon.”
“Kalau aku ingetin lagi jangan marah yaaa,” goda Rani.
“Iya iya, tapi ingetinnya sambil kasih permen ya, hehehe.”

Ari, Rani, dan Mbah Kakung tertawa bersama.

1 comment: