Saturday, January 5, 2019

Liburan yang Berkesan untuk Rio


Rio mengeluh kesal ketika ayahnya meminta berhenti memainkan ponsel. Ia bosan. Sebenarnya main ponsel dan video youtube pun ia juga sudah bosan. Namun ia merasa tidak punya pilihan lain.
Liburan kali ini terasa begitu berbeda bagi Rio. Ibunya sudah dua minggu pergi ke Yogyakarta untuk mengurus nenek yang sedang sakit. Teman-teman mainnya sekomplek seperti janjian punya agenda liburan keluarga masing-masing. Komplek terasa sepi. Ayah pun sedang mengejar banyak target pekerjaan agar bisa mengambil cuti menyusul Ibu ke rumah nenek. Rio bosan dan merasa tidak punya teman.
“Yah, kapan kita bisa menyusul Ibu ke rumah Nenek?”
“Ayah belum tahu, Nak. Doakan pekerjaan Ayah segera selesai, ya,” jawab Ayah. Percakapan yang sama berulang sampai akhirnya Rio berhenti menanyakannya setelah tiga kali, ketika ayah menjawab, Besok Sabtu, ya Nak. Dan Rio pun berseru gembira.
***

Di rumah Nenek, ternyata situasi tidak terlalu berbeda. Rio kembali bosan. Ia tidak bisa sering main bersama ibunya kesibukan mengurus nenek. Ia juga tidak bisa mendengar cerita-cerita nenek karena keadaanya yang sedang sakit. Jauh dari bayangannya sebelum sampai Yogyakarta.
“Rio, bosan ya?” tanya Om Bilal. Om Bilal adalah adik bungsu Ibu. Ia masih kuliah semester akhir.
“Iya, Om. Rio bingung mau main apa sama siapa. Buku yang Rio bawa juga sudah dibaca semua. Main layang-layang juga bosan kalau sendirian.”
“Hmm, Om minta maaf ya Rio belum bisa menemani Rio main. Hari ini Om mau ambil data ke peternakan,” Om Bilal tiba-tiba merasa bersalah karena tidak bbisa menemani Rio. Ternyata mainan dan alat hiburan yang lain pun tidak cukup menemani keponakannya itu. Ia butuh teman bermain. Biasanya saat liburan sekolah, dirinya juga libur sehingga bisa menemani Rio bermain. Tapi kali ini, ia sedang sibuk-sibuknya mengambil data untuk penelitian akhirnya di kampus.
“Om mau ke peternakan?”
“Iya.”
“Di sana ada apa?”
“Di sana ada kambing, sapi, domba, dan kuda. Tapi Om hanya lihat kambingnya saja. Om mau ukur berat badan kambing di sana sebagai data penelitian.”
Mata Rio membulat. Rio berpikir sebentar. Lalu ia memberanikan diri bertanya, “Rio boleh ikut nggak Om?”
“Oh iya! Kenapa Om enggak menawarkan Rio ikut saja, ya! Om enggak kepikiran. Bisa bisa! Hari ini Om ke peternakan bukan seperti penelitian saat kelas kuliah. Rio siap-siap lalu izin Ayah dan Ibu, ya. Om bantu siapkan bekal kue dan minum,” kata Om Bilal.
“Yeeey!” Rio berseru senang. Ia belum pernah ke peternakan. Ia langsung menghampiri Ibunya di kamar nenek dan izin mengikuti Om Bilal ke peternakan.
Ibu senang sekali Rio punya kegiatan. “Rio jadi anak baik ya selama ikut Om Bilal. Yang nurut apa kata Om Bilal, tidak merepotkan.” Ibu sebenarnya merasa bersalah juga tidak bisa menemani putranya bermain selama liburan.
“Iya, Bu.”
“Jangan minta pulang tiba-tiba ya, Nak. Kasihan nanti Om Bilal belum selesai dapat berat badan kambingnya. Kalau berat badan Rio yang diukur kan gampang bisa di rumah. Kalau kambing, masa dibawa ke rumah?”
Om Bilal tertawa. “Tenang saja, Rio akan tertarik kalau sudah di sana!” Rio semakin penasaran, seperti apa ya peternakan itu?
Rio mengenakan jaket dan helm yang agak kebesaran. Helm itu milik kakek. Di rumah kakek dan neneknya tidak ada helm untuk anak-anak. Om Bilal mengunci helm Rio yang agak kebesaran itu lalu menarik talinya agar ukurannya lebih kencang. Om Bilal naik ke motornya. Rio membonceng di belakang.
“Pamit dulu. Assalamualaikum!” seru Rio dan Om Bilal.
Sepanjang jalan Rio mengamati suasana sekelilingnya. Ia juga bertanya-tanya, seperti apa ya peternakan itu? Apakah peternakan di sini seperti yang ia baca di buku cerita? Penuh tumpukan jerami dan dikelilingi kandang kayu? Ah, Rio ingin segera sampai. Rio penasaran.
Om Bilal melewati jalanan yang menanjak. Ia juga bercerita bahwa peternakan biasanya dibangun di daerah yang suhunya dingin dan jauh dari kebisingan lalu lintas. Setelah empat puluh lima menit menaiki motor, keduanya sampai di peternakan.
“Bhumi Naraya Farm,” Rio membaca gapura nama peternakan itu. Om Bilal segera memarkir motornya lalu menemui temannya. Rio memanggilnya Om Salam.
Rio menatap sekitar. Ada deretan kandang kambing di sebelah
Om Bilal dan Om Salam berjalan ke arah kandang kambing. Kandang kambing terbuat dari kayu, berblok-blok kotak kecil diisi satu samai dua kambing. Om Salam mengeluarkan timbangan dari dalam tasnya. Om Bilal mengeluarkan buku catatan beserta pulpennya.
Hei, itu timbangan manusia! Seru Rio kaget dalam hati. “Om, kenapa ditimbang pakai timbangan manusia? Rio kira kambing punya timbbangannya sendiri.” Rio tidak bisa membayangkan bagaimana caranya kambing ditimbang menggunakan timbangan manusia. Apalagi kaki kambing kan ada empat, terlalu jauh jarak antar kakinya untuk bisa berdiri pada satu timbangan manusia.
“Nanti Rio lihat sendiri ya, bagaimana Om Salam dan Ommu ini menimbang kambing,” kata Om Salam secara misterius.
Rio penasaran memperhatikan Omnya dan Om Salam yang masuk ke salah satu bilik kandang kambing. Om Salam meletakkan timbangan di atas lantai kayu, kemudian menimbang dirinya sendiri. Om Bilal bersiap mencatat.
“Enam puluh dua, Lal.” Om Salam turun dari timbangan. Om Bilal mencatat. Rio masih bingung, kenapa malah Om Salam yang menimbang? Tanyanya dalam hati.
Om Salam mendekati kambing di bilik itu dan mengelusnya pelan-pelan. Sampai ketika kambingnya sudah terlihat nyaman, tanpa Rio sangka, Om Salam menggendong kambing itu. Kemudian Om Salam menimbang berat badan dirinya dengan kambing.
“Delapan puluh tujuh,” kata Om Bilal melihat angka digital pada timbangan. “Berarti dua puluh lima kilo, ya.” Om Bilal menuliskan sejumlah angka. Om Salam segera menurunkan kambing yang digendongnya. Rio ber-ooh panjang. Ia baru paham bahwa Om Salam menimbang dirinya agar ketika menimbang dengan menggendong kambing, berat badan kambing bisa diketahui dengan mengurangi berat total dengan berat badannya.
Om Bilal dan Om Salam berulang kali keluar masuk bilik kambing untuk mengukur berat semua kambing yang ada di satu bangsal tersebut. Pada bangsal ini, ada dua belas bilik dengan total empat belas  kambing. Rio tetap asyik memperhatikan keduanya menibang kambing. Kini, meski sudah ia ketahui caranya, setiap menimbang kambing ada ceritanya tersendiri.
Rio melihat kambing yang mudah digendong, tapi ada juga yang lihai sekali menghindar ketika hendak digendong. Ada juga kambing yang cuek digendong dalam keadaan masih asyik mengunyah rumput. Sering, Rio tertawa melihat ulah kambing-kambing itu ketika sedang berkelit, menghindar dari usaha Om Salam atau Om Bilal untuk menggendong. Mereka berdua bergantian menggendong kambing dan mencatatnya.
Selesai melakukan pengambilan data, Om Bilal mengajak untuk melihat alat pengambilan susu kambing. Rio pun diajak melihat kandang sapi, domba, dan kuda. Mereka berkeliling peternakan, mencoba memberi makan kambing, dan tak lupa menghilangkan rasa penasaran Rio menunggangi kuda.
“Wah seru banget Om! Om Bilal kuliahnya seperti ini tiap hari?” kata Rio di sela-sela istirahat mereka. Kini ketiganya sedang beristirahat di saung bambu yang ada di peternakan.
Om Bilal tertawa. “Tentu saja tidak, Rio! Kalau di kampus untuk kelas kuliah biasanya kami praktikum dengan hewan-hewan di kampus. Biasanya mengunjungi peternakan lain kami lakukan saat kuliah lapangan, kerja lapangan, atau ambil data untuk penelitian,” terang Om Bilal.
Mata Rio membulat, “Ternyata tempat kuliahnya Om itu juga punya peternakan sepert ini? Waow kereeen!”
“Tentu saja tidak sebesar ini, tapi memang kampus kami di Fakultas Peternakan punya kandang-kandang hewan untuk praktek dalam pelajaran kami sehaari-hari,” kata Om Salam.
Hari ini sangat berkesan bagi Rio. Akhirnya ia punya pengalaman baru yang menarik sepanjang liburan ini. Rio tidak sabar menceritakan pengalaman barunya pada Ibu, Ayah, dan Nenek sepulang dari peternakan. Dan...tentu saja ia juga tidak sabar bertukar cerita pengalaman liburan dengan teman-temannya!

No comments:

Post a Comment