Rio mengeluh
kesal ketika ayahnya meminta berhenti memainkan ponsel. Ia bosan. Sebenarnya
main ponsel dan video youtube pun ia juga sudah bosan. Namun ia merasa tidak
punya pilihan lain.
Liburan kali
ini terasa begitu berbeda bagi Rio. Ibunya sudah dua minggu pergi ke Yogyakarta
untuk mengurus nenek yang sedang sakit. Teman-teman mainnya sekomplek seperti
janjian punya agenda liburan keluarga masing-masing. Komplek terasa sepi. Ayah
pun sedang mengejar banyak target pekerjaan agar bisa mengambil cuti menyusul
Ibu ke rumah nenek. Rio bosan dan merasa tidak punya teman.
“Yah, kapan
kita bisa menyusul Ibu ke rumah Nenek?”
“Ayah belum
tahu, Nak. Doakan pekerjaan Ayah segera selesai, ya,” jawab Ayah. Percakapan
yang sama berulang sampai akhirnya Rio berhenti menanyakannya setelah tiga kali,
ketika ayah menjawab, Besok Sabtu, ya Nak.
Dan Rio pun berseru gembira.
***
Di rumah
Nenek, ternyata situasi tidak terlalu berbeda. Rio kembali bosan. Ia tidak bisa
sering main bersama ibunya kesibukan mengurus nenek. Ia juga tidak bisa
mendengar cerita-cerita nenek karena keadaanya yang sedang sakit. Jauh dari
bayangannya sebelum sampai Yogyakarta.
“Rio, bosan
ya?” tanya Om Bilal. Om Bilal adalah adik bungsu Ibu. Ia masih kuliah semester
akhir.
“Iya, Om. Rio
bingung mau main apa sama siapa. Buku yang Rio bawa juga sudah dibaca semua.
Main layang-layang juga bosan kalau sendirian.”
“Hmm, Om minta
maaf ya Rio belum bisa menemani Rio main. Hari ini Om mau ambil data ke
peternakan,” Om Bilal tiba-tiba merasa bersalah karena tidak bbisa menemani Rio.
Ternyata mainan dan alat hiburan yang lain pun tidak cukup menemani
keponakannya itu. Ia butuh teman bermain. Biasanya saat liburan sekolah, dirinya
juga libur sehingga bisa menemani Rio bermain. Tapi kali ini, ia sedang
sibuk-sibuknya mengambil data untuk penelitian akhirnya di kampus.
“Om mau ke
peternakan?”
“Iya.”
“Di sana ada
apa?”
“Di sana ada
kambing, sapi, domba, dan kuda. Tapi Om hanya lihat kambingnya saja. Om mau
ukur berat badan kambing di sana sebagai data penelitian.”
Mata Rio
membulat. Rio berpikir sebentar. Lalu ia memberanikan diri bertanya, “Rio boleh
ikut nggak Om?”
“Oh iya!
Kenapa Om enggak menawarkan Rio ikut saja, ya! Om enggak kepikiran. Bisa bisa!
Hari ini Om ke peternakan bukan seperti penelitian saat kelas kuliah. Rio
siap-siap lalu izin Ayah dan Ibu, ya. Om bantu siapkan bekal kue dan minum,” kata
Om Bilal.
“Yeeey!” Rio
berseru senang. Ia belum pernah ke peternakan. Ia langsung menghampiri Ibunya
di kamar nenek dan izin mengikuti Om Bilal ke peternakan.
Ibu senang
sekali Rio punya kegiatan. “Rio jadi anak baik ya selama ikut Om Bilal. Yang
nurut apa kata Om Bilal, tidak merepotkan.” Ibu sebenarnya merasa bersalah juga
tidak bisa menemani putranya bermain selama liburan.
“Iya, Bu.”
“Jangan minta
pulang tiba-tiba ya, Nak. Kasihan nanti Om Bilal belum selesai dapat berat
badan kambingnya. Kalau berat badan Rio yang diukur kan gampang bisa di rumah.
Kalau kambing, masa dibawa ke rumah?”
Om Bilal
tertawa. “Tenang saja, Rio akan tertarik kalau sudah di sana!” Rio semakin
penasaran, seperti apa ya peternakan itu?
Rio mengenakan
jaket dan helm yang agak kebesaran. Helm itu milik kakek. Di rumah kakek dan neneknya
tidak ada helm untuk anak-anak. Om Bilal mengunci helm Rio yang agak kebesaran
itu lalu menarik talinya agar ukurannya lebih kencang. Om Bilal naik ke
motornya. Rio membonceng di belakang.
“Pamit dulu.
Assalamualaikum!” seru Rio dan Om Bilal.
Sepanjang
jalan Rio mengamati suasana sekelilingnya. Ia juga bertanya-tanya, seperti apa
ya peternakan itu? Apakah peternakan di sini seperti yang ia baca di buku
cerita? Penuh tumpukan jerami dan dikelilingi kandang kayu? Ah, Rio ingin
segera sampai. Rio penasaran.
Om Bilal
melewati jalanan yang menanjak. Ia juga bercerita bahwa peternakan biasanya
dibangun di daerah yang suhunya dingin dan jauh dari kebisingan lalu lintas.
Setelah empat puluh lima menit menaiki motor, keduanya sampai di peternakan.
“Bhumi Naraya Farm,”
Rio membaca gapura nama peternakan itu. Om Bilal segera memarkir motornya lalu
menemui temannya. Rio memanggilnya Om Salam.
Rio menatap
sekitar. Ada deretan kandang kambing di sebelah
Om Bilal dan
Om Salam berjalan ke arah kandang kambing. Kandang kambing terbuat dari kayu,
berblok-blok kotak kecil diisi satu samai dua kambing. Om Salam mengeluarkan
timbangan dari dalam tasnya. Om Bilal mengeluarkan buku catatan beserta
pulpennya.
Hei, itu timbangan manusia! Seru Rio
kaget dalam hati. “Om, kenapa ditimbang pakai timbangan manusia? Rio kira
kambing punya timbbangannya sendiri.” Rio tidak bisa membayangkan bagaimana
caranya kambing ditimbang menggunakan timbangan manusia. Apalagi kaki kambing
kan ada empat, terlalu jauh jarak antar kakinya untuk bisa berdiri pada satu
timbangan manusia.
“Nanti Rio
lihat sendiri ya, bagaimana Om Salam dan Ommu ini menimbang kambing,” kata Om
Salam secara misterius.
Rio penasaran
memperhatikan Omnya dan Om Salam yang masuk ke salah satu bilik kandang
kambing. Om Salam meletakkan timbangan di atas lantai kayu, kemudian menimbang
dirinya sendiri. Om Bilal bersiap mencatat.
“Enam puluh
dua, Lal.” Om Salam turun dari timbangan. Om Bilal mencatat. Rio masih bingung,
kenapa malah Om Salam yang menimbang?
Tanyanya dalam hati.
Om Salam mendekati
kambing di bilik itu dan mengelusnya pelan-pelan. Sampai ketika kambingnya
sudah terlihat nyaman, tanpa Rio sangka, Om Salam menggendong kambing itu. Kemudian
Om Salam menimbang berat badan dirinya dengan kambing.
“Delapan puluh tujuh,” kata Om Bilal melihat angka digital pada timbangan. “Berarti
dua puluh lima kilo, ya.” Om Bilal menuliskan sejumlah angka. Om Salam
segera menurunkan kambing yang digendongnya. Rio ber-ooh panjang. Ia baru paham
bahwa Om Salam menimbang dirinya agar ketika menimbang dengan menggendong
kambing, berat badan kambing bisa diketahui dengan mengurangi berat total
dengan berat badannya.
Om Bilal dan
Om Salam berulang kali keluar masuk bilik kambing untuk mengukur berat semua kambing
yang ada di satu bangsal tersebut. Pada bangsal ini, ada dua belas bilik dengan
total empat belas kambing. Rio tetap
asyik memperhatikan keduanya menibang kambing. Kini, meski sudah ia ketahui
caranya, setiap menimbang kambing ada ceritanya tersendiri.
Rio melihat
kambing yang mudah digendong, tapi ada juga yang lihai sekali menghindar ketika
hendak digendong. Ada juga kambing yang cuek digendong dalam keadaan masih
asyik mengunyah rumput. Sering, Rio tertawa melihat ulah kambing-kambing itu
ketika sedang berkelit, menghindar dari usaha Om Salam atau Om Bilal untuk
menggendong. Mereka berdua bergantian menggendong kambing dan mencatatnya.
Selesai melakukan
pengambilan data, Om Bilal mengajak untuk melihat alat pengambilan susu
kambing. Rio pun diajak melihat kandang sapi, domba, dan kuda. Mereka berkeliling
peternakan, mencoba memberi makan kambing, dan tak lupa menghilangkan rasa
penasaran Rio menunggangi kuda.
“Wah seru
banget Om! Om Bilal kuliahnya seperti ini tiap hari?” kata Rio di sela-sela
istirahat mereka. Kini ketiganya sedang beristirahat di saung bambu yang ada di
peternakan.
Om Bilal
tertawa. “Tentu saja tidak, Rio! Kalau di kampus untuk kelas kuliah biasanya
kami praktikum dengan hewan-hewan di kampus. Biasanya mengunjungi peternakan
lain kami lakukan saat kuliah lapangan, kerja lapangan, atau ambil data untuk
penelitian,” terang Om Bilal.
Mata Rio
membulat, “Ternyata tempat kuliahnya Om itu juga punya peternakan sepert ini?
Waow kereeen!”
“Tentu saja
tidak sebesar ini, tapi memang kampus kami di Fakultas Peternakan punya
kandang-kandang hewan untuk praktek dalam pelajaran kami sehaari-hari,” kata Om
Salam.
Hari ini
sangat berkesan bagi Rio. Akhirnya ia punya pengalaman baru yang menarik
sepanjang liburan ini. Rio tidak sabar menceritakan pengalaman barunya pada
Ibu, Ayah, dan Nenek sepulang dari peternakan. Dan...tentu saja ia juga tidak
sabar bertukar cerita pengalaman liburan dengan teman-temannya!
No comments:
Post a Comment