Halo, permisi. Apa kabar? Semoga baik saja ya.
Pak Tua selalu bilang tentang hal-hal sejati yang akan menemukan jalan--untuk tidak memaksaan keadaan.
Aku tahu, banyak kondisi yang terlalu melelahkan untuk dijalani. Dan begitupula pada tulisanku yang dahulu sudah pernah kusampaikan pada diriku sendiri. Apa yang membuatnya perlu menjadi kuat.
Bisa jadi pun, tidak ada yang salah di antara kita Namun biar bagaimanapun, perasaan mudah merasa bersalahku mengatakan, aku perlu minta maaf duluan.
aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya....
Cerita Sebelum Tidur
Wednesday, June 26, 2019
Thursday, January 10, 2019
Hemat Tisu untuk Hutanku
“Mbak, tolong ambilkan tisu,” kata Ari. Ia baru saja tanpa sengaja menumpahkan susu di lantai.
Rani enggan. “Pakai lap saja, Ri.”
“Duh kalau pakai lap nanti Ari perlu cuci sama jemur dulu. Ribet Mbak. Kalau tisu kan tinggal buang,” tawar Ari.
Rani tetap pada pendiriannya. “Pakai lap saja, Ri.”
Ari kesal. Ia berjalan mengambil tisu. “Kalau Mbak Rani tidak mau, Aku bisa ambil sendiri,” katanya bersungut-sungut. Rani hanya menggelengkan kepalanya.
Rani sangat hemat menggunakan tisu. Dan ini sangat berkebalikan dengan Ari adiknya. Debu sedikit, lap pakai tisu. Basah sedikit, lap pakai tisu. Kuah sup tumpah sedikit, ambil tisu baru. Mengaduk susu terlalu cepat sampai memercikkan isinya ke luar, lap dengan tisu. Mulutnya cemong setelah menghabiskan susu, ambil tisu baru. Jika air tumpah di lantai, berarti akan banyak tisu yang dikorbankan.
Sudah sering Rani mengingatkan Ari untuk menghemat tisu. Tapi adiknya masih saja boros. Ari merasa persediaan tisu selalu ada dan bebas dipakai kapan saja.
***
Pekan ini Ari dan Rani pergi ke rumah mbah di Gunungkidul. Mereka akan tinggal di sana selama lima hari sepanjang liburan masa ujian nasional sekolah. Sudah hampir enam bulan mereka tidak ke sana. Keduanya kangen sekali. Meskipun sama-sama di Provinsi Yogyakarta, ada saja penghalang yang membuat mereka belum mengunjungi kakeknya 6 bulan terakhir ini.
Ari dan Rani sangat suka mendatangi rumah mbahnya di Gunungkidul. Posisi rumah mbah ada di dataran tinggi yang jauh dari hingar bingar dan kemacetan Kota Yogyakarta yang semakin menjadi. Sampai di sana, mbah kakung yang masih terlihat sehat dan bugar menunnggu Rani dan Ari di depan rumah. Mbah putri sepertinya masih beres-beres di dalam rumah.
“Selamat datang cucu-cucuku!” sambut mbah kakung. Ari langsung memeluk, disusul oleh Rani.
Setelah ayah bercakap-cakap sebentar dengan mbah kakung dan mbah putri, ayah pamit pulang dan berjanji akan menjemput lima hari berikutnya.
Ari dan Rani menjalani rutinitas sehari-hari di rumah kakek kecuali sekolah. Kegiatan sekolah diganti dengan menemani mbah kakung ke sawah atau ke hutan kecil dekat rumahnya untuk mengontrol petak sawah dan petak pepohonan yang mbah kakung punya. Kadang-kadang jika diperlukan, mbah kakung juga mencari kayu bakar di hutan. Keduanya suka sekali setiap diajak berjalan-jalan ke sawah maupun hutan.
Pagi pertama di rumah mbah. Ari dan Rani sarapan sop ayam hangat buatan mbah putri. Ari bertugas membawa nasi, lauk pauk, serta sayuran dari dapur ke meja makan. Rani membantu mbah putri membereskan dapur.
Saat membawa mangkuk sup dari dapur, isi mangkuk yang terlalu penuh dan jalan yang tidak stabil membuat kuah sup tumpah sedikit ke lantai. Ari menuntaskan tugasnya sampai mangkuk sup ada di atas meja dan bergegas mencari tisu. Sayangnya, ia hanya menemukan sedikit tisu di ruang tamu.
“Mbah Putri, Ari boleh ambil tisu di ruang tamu?” tanya Ari di pintu dapur.
“Monggo Nduk, ambil saja,” jawab mbah putri sembari mengelapi kompor.
“Tapi tinggal sedikit, Mbah. Ari takut habis tisunya.”
“Lha memangnya mau buat apa?” Mbah putri beranjak mendekati Ari.
“Ngelap kuah sop yang tumpah, Mbah,” kata Ari.
“Kalau ini pakai lap saja Ri. Mbah ambilkan ya.” Ari tidak bisa menolak lagi. Ini bukan di rumahnya yang punya banyak persediaan tisu.
Saturday, January 5, 2019
Liburan yang Berkesan untuk Rio
Rio mengeluh
kesal ketika ayahnya meminta berhenti memainkan ponsel. Ia bosan. Sebenarnya
main ponsel dan video youtube pun ia juga sudah bosan. Namun ia merasa tidak
punya pilihan lain.
Liburan kali
ini terasa begitu berbeda bagi Rio. Ibunya sudah dua minggu pergi ke Yogyakarta
untuk mengurus nenek yang sedang sakit. Teman-teman mainnya sekomplek seperti
janjian punya agenda liburan keluarga masing-masing. Komplek terasa sepi. Ayah
pun sedang mengejar banyak target pekerjaan agar bisa mengambil cuti menyusul
Ibu ke rumah nenek. Rio bosan dan merasa tidak punya teman.
“Yah, kapan
kita bisa menyusul Ibu ke rumah Nenek?”
“Ayah belum
tahu, Nak. Doakan pekerjaan Ayah segera selesai, ya,” jawab Ayah. Percakapan
yang sama berulang sampai akhirnya Rio berhenti menanyakannya setelah tiga kali,
ketika ayah menjawab, Besok Sabtu, ya Nak.
Dan Rio pun berseru gembira.
***
Di rumah
Nenek, ternyata situasi tidak terlalu berbeda. Rio kembali bosan. Ia tidak bisa
sering main bersama ibunya kesibukan mengurus nenek. Ia juga tidak bisa
mendengar cerita-cerita nenek karena keadaanya yang sedang sakit. Jauh dari
bayangannya sebelum sampai Yogyakarta.
“Rio, bosan
ya?” tanya Om Bilal. Om Bilal adalah adik bungsu Ibu. Ia masih kuliah semester
akhir.
“Iya, Om. Rio
bingung mau main apa sama siapa. Buku yang Rio bawa juga sudah dibaca semua.
Main layang-layang juga bosan kalau sendirian.”
“Hmm, Om minta
maaf ya Rio belum bisa menemani Rio main. Hari ini Om mau ambil data ke
peternakan,” Om Bilal tiba-tiba merasa bersalah karena tidak bbisa menemani Rio.
Ternyata mainan dan alat hiburan yang lain pun tidak cukup menemani
keponakannya itu. Ia butuh teman bermain. Biasanya saat liburan sekolah, dirinya
juga libur sehingga bisa menemani Rio bermain. Tapi kali ini, ia sedang
sibuk-sibuknya mengambil data untuk penelitian akhirnya di kampus.
“Om mau ke
peternakan?”
“Iya.”
“Di sana ada
apa?”
“Di sana ada
kambing, sapi, domba, dan kuda. Tapi Om hanya lihat kambingnya saja. Om mau
ukur berat badan kambing di sana sebagai data penelitian.”
Mata Rio
membulat. Rio berpikir sebentar. Lalu ia memberanikan diri bertanya, “Rio boleh
ikut nggak Om?”
Friday, January 4, 2019
Orci Mencari Sahabat
oleh : Fitri Hasanah Amhar
Orci
adalah spesies buaya sahul Irian yang tinggal di sungai pedalaman Pulau Papua.
Ia adalah anak buaya yang suka menjelajah dan ingin punya banyak teman.
Sayangnya, hewan hutan selalu takut duluan melihatnya. Kalau ia mendekat, mereka
segera menjauh. Orci sangat sedih karenanya.
“Hati-hati
kalau dekat sungai, ada buaya!”
“Iya,
kudengar buaya suka memangsa hewan hutan lain.”
Orci
sedih sekali mendengar bisik-bisik itu dari hewan hutan yang melewati sungai
tempat tinggalnya.
Suatu
hari, Arsi si rusa mendekati sungai untuk minum. Namun saat hendak pergi karena
sudah selesai, kakinya terbelit tanaman liar tepi sungai. Orci ingin segera
menolong. Cepat ia mendekati Arsi.
“Kamu
mau apa, buaya? Jangan mendekat!” seru Arsi ketakutan.
“Aku
hanya ingin membantumu,” jawab Orci sambil berenang mendekat.
Orci
menggigit tanaman liar yang membelit kaki Arsi. Ketika selesai, Arsi segera
menepi.
“Terima
kasih. Siapa namamu?”
“Aku
Orci si anak buaya. Kalau kamu?”
“Aku
Arsi si anak rusa. Di sungai ini hanya kamu ya buayanya?”
“Iya.
Aku sebenarnya kesepian. Apakah kamu mau berteman denganku?”
Arsi
kaget. Wajahnya takut.
“Jangan
khawatir, aku tidak memangsamu. Aku makan ikan dan hewan kecil di sungai,”
katanya lagi.
Arsi
tersenyum lega, ”Kalau begitu, tentu saja!”
Mereka
kemudian bermain di tepi sungai. Orci sangat senang karena akhirnya ada yang
mau berteman dengannya.
“Aku
pulang dulu, ya! Terima kasih tadi sudah membantu!” Arsi pamit pada Orci.
Orci
mengangguk, “Terima kasih juga telah menjadi sahabat baruku yang baik!”
Sepulang
dari sungai Arsi bertemu Upi Tupai sahabatnya. Arsi menceritakan pengalamannya
tadi sewaktu ditolong Orci.
“Masa
sih Orci buaya yang baik? Aku tidak percaya,” kata Upi.
“Iya.
Kalau kamu tidak percaya, ayo kita main bersama besok!” ajak Arsi
Keesokan
harinya Arsi dan Upi berangkat bersama ke sungai. Jantung Upi berdebar keras.
“Orci,
aku datang bersama Upi sahabatku!” seru Arsi.
Orci
datang mendekat. Upi langsung bersembunyi di belakang tubuh Arsi.
“Halo
Upi, salam kenal! Aku Orci anak buaya yang tinggal di sini.”
Upi
masih bersembunyi.
“Hmm,
kamu takut ya denganku? Kalau begitu apakah jika aku menawarkan tur menjelajah
sungai kamu masih takut?”
Upi
tertarik. Ia sangat suka petualangan baru. Ia juga belum pernah menjelajah
sungai.
Orci
menawarkan Arsi dan Upi menaiki punggungnya. Meski sedikit takut, Arsi dan Upi
naik ke punggung Orci. Orci perlahan turun ke sungai dengan Arsi dan Upi di
atas punggungnya.
Orci
membawa Arsi dan Upi menjelajah sungai. Sebagai hewan yang tinggal di darat,
Arsi dan Upi takjub dengan keindahan sungai tempat tinggal Orci.
“Ini
menakjubkan!” seru Upi.
“Iya,
ini petualangan hebat!” seru Arsi.
“Terima
kasih atas petulangan yang seru ini, Orci! Kini aku tidak takut bermain
denganmu,” kata Upi.
Upi
dan Arsi tidak takut lagi berteman dengan Orci. Mereka juga ingin mengajak
teman lain untuk bermain bersamanya.
------
Naskah ini pernah diikutsetakan dalam pengajuan naskah rubrik Nusantara Bertutur di Kompas Klasika, Harian Kompas, Desember 2018 dengan syarat 2500 karakter.
Tuesday, January 1, 2019
Sahabat di Rumah Sakit
Adi
merengut kesal melihat jendela. Ia sedih karena sampai hari ini masih terbaring
di rumah sakit. Teman-teman sekelasnya pasti sekarang sudah asyik berwisata ke
Taman Bunga Cipanas.
“Kamu
kenapa? Kok cemberut begitu?” terdengar suara dari ranjang sebelah. Anak itu
pasien yang baru masuk tadi malam.
Adi
hanya menoleh dan tidak menjawab.
“Kenalkan,
aku Dito,” anak itu melambaikan tangan. Jarak kasur dan selang infus membatasi
mereka untuk bersalaman.
“Aku
Adi,” jawab Adi. “Aku sedih tidak bisa ikut wisata sekolah ke Taman Bunga
Cipanas. Pasti menyenangkan di sana. Tidak seperti aku yang kebosanan di rumah
sakit ini. Tidak ada teman, hanya bisa di kasur, membosankan sekali,” keluh Adi.
“Semalam
waktu dokter bilang aku akan diopname, aku juga berpikir begitu. Tapi begitu
tahu aku sekamar dengan teman sebaya, aku senang karena itu berarti aku punya
teman di rumah sakit ini. Kamu mau berteman denganku?”
Mata
Adi membulat tidak percaya bahwa opname bisa membuatnya punya teman baru. “Tentu
saja mau! Aku juga bosan kalau tidak ada teman.”
Adi
dan Dito segera akrab lewat obrolan tentang kesukaan kartun dan permainan yang
sama. Keduanya sama-sama siswa kelas empat dari SD berbeda.
“Aku
iri karena kamu bisa bicara banyak. Kalau aku bicara terlalu banyak, Mama akan mengingatkanku,”
kata Adi. Ia belum boleh banyak bicara karena bisa membuat napasnya tersengal
dan memicu asmanya kambuh kembali.
“Kalau
kamu bilang iri, aku juga pernah iri sama kamu.”
“Iri
padaku? Masa? Aku tidak percaya,” kata Adi tidak yakin.
“Karena
kamu makannya lahap sekali.”
“Lho,
memangnya kalau kamu makan rasanya gimana?”
“Aku
mual dan selama sakit, rasanya tidak enak kalau makan. Tapi aku senang, lihat
kamu makannya lahap membuat aku semangat makan.” Dito tersenyum. Adi ikut
tersenyum. Sakit yang berbeda memang membuat kondisi mereka berbeda. Adi dengan
asmanya tidak boleh banyak bicara, sementara nafsu makannya tidak terganggu. Sedangkan
Dito yang terkena muntaber tidak masalah jika banyak bicara saat ia tidak dalam
kondisi lemas, namun selera makannya menurun.
Sejak
ada Dito, Adi jadi tidak merasa bosan. Biasanya bosan di rumah sakit membuatnya
kesal dan mudah marah. Mereka akrab menonton kartun favorit yang sama, bermain
tebak-tebakan, dan membahas tokoh superhero favorit masing-masing. Persahabatan
baru ini membuat Adi lebih ceria selama opname.
Tiga
hari sejak perkenalan Adi dan Dito, dokter menyatakan Adi sudah boleh pulang. Adi
senang sekaligus sedih karena ia akan berpisah dengan sahabat barunya.
Dito
juga sedih. Tapi ia senang karena Adi sudah sehat. Ia pun ingin lekas sehat dan
kembali pulang ke rumah dan bersekolah seperti biasa.
“Jangan
sedih Adi. Kan kita masih bisa bertemu
atau berkomunikasi. Sekarang kita bertukar nomor dan alamat saja ya.”
Adi
masih berkaca-kaca. Ia menganguk. Dalam hatinya ia berjanji bahwa persahabatan
ini tidak usai hanya dengan pulang ke rumah karena sembuh.
Monday, December 24, 2018
Ke Mana Heni Pergi?
Atri melirik
Heni heran. Beberapa hari terakhir Heni buru-buru pergi ke luar kelas usai bel
istirahat berbunyi. Tidak ada yang tahu ke mana Heni pergi. Heni tidak
ditemukan di manapun sepanjang jam istirahat. Tidak di kantin, tidak di perpustakaan,
tidak di toilet, juga tidak di ruang UKS sekolah.
“Heni sekarang
jadi jarang main sama kita, ya. Kalau jam istirahat dia pergi enggak tahu ke
mana,” keluh Atri pada Risa.
“Iya. Baru
saja aku mau tanya ke kamu,” jawab Risa.
“Kenapa ya...?”
“Kamu sudah
tanya Heni?”
“Bagaimana
bisa tanya. Dia langsung pergi waktu bel istirahat dan masuk ketika bel
berbunyi. Saat bel pulang juga dia buru-buru. Kamu tahu sendiri kan kalau
mengobrol di jam pelajaran akan ditegur,” keluh Atri.
“Coba nanti
kita tahan dulu sepulang sekolah, yuk!” ajak Risa.
***
Bel pulang sekolah
berdentang.
Heni cepat
memasukkan buku pelajaran dan alat tulisnya. Atri dan Risa saling lirik. Mereka
segera mendekati Heni yang baru saja berdiri sembari mencangklongkan tasnya.
“Heni mau ke mana,
kok buru-buru sekali?” tanya Risa.
“Hmm, aku mau
pergi ke toko hari ini,” jawab Heni.
“Wah, apa kami
boleh ikut?” tanya Atri antusias.
“Aku akan
pergi dengan kakakku naik motor. Kalau bertiga nanti tidak muat,” kata Heni
lagi.
“Oh, begitu
ya.... Baiklah,” ucap Atri kecewa.
“Heni kalau
jam istirahat sekarang ke mana sih? Kami ingin main bersama seperti biasanya
tapi kamu akhir-akhir ini cepat sekali ke luar kelas begitu bel istirahat
berbunyi,” tanya Risa.
“Iya, aku
tidak menemukanmu di mana-mana. Di kantin, di perpustakaan, di toilet, tidak
ada di manapun. Kamu ke mana kalau jam istriahat? Bolehkah kami tahu?” Atri
memperkuat kalimat Risa sebelumnya.
Thursday, December 6, 2018
Karpet Ajaib Bimbali
Bimbali adalah anak pemilik pengusaha terkenal di Kota Murbua. Kedua orang tua Bimbali sangat murah hati dan suka menolong. Mereka suka membantu siapapun yang membutuhkan. Kedua orang tua Bimbali berprinsip bahwa kebaikan dan kasih sayang pada sesama yang menjaga usaha mereka dalam mendapatkan keuntungan.
Sayangnya, Bimbali yang sejak kecil sudah hidup berkecukupan menjadi malas-malasan. Ia selama ini hanya mengandalkan apa yang sudah dimiliki orang tuanya. Orang tuanya pun kebingungan bagaimana caranya agar Bimbali mau berusaha dan bekerja keras.
Dalam kondisi yang serba enak, tiba-tiba Bimbali mendapat berita duka. Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan tunggal yang membuatnya yatim piatu. Bimbali sangat sedih. Belum ada keahlian yang ia pelajari dari kedua orang tuanya.
Sepulang dari pemakaman, Pamannya menghampiri Bimbali dan memberikan surat wasiat.
Bimbali sangat sedih atas kematian kedua orang tuanya. Selain sedih, ia juga cemas dengan kelanjutan hidupnya karena ia tahu dirinya belum menguasai ilmu perdagangan. Bimbali tidak pernah tahu di mana ayahnya menyimpan harta kekayaannya. Cepat ia pulang ke rumah dan membuka lemari pakaian ayahnya. Di sana, ia menemukan karpet biru kecil beserta sekantung logam emas yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Bimbali menggelar karpet kecil itu dan duduk di atasnya. Tanpa sadar, Bimbali menangis kembali sampai tertidur. Ia tidak tahu bahwa karpet yang dipakainya adalah karpet ajaib.
Bimbali terjaga dari tidurnya dan menyadari bahwa ia kini ada di tempat lain. Ia berada di rumah seorang pengusaha dari negeri tetangga. Ia bisa melihat keadaan sekitar namun ternyata orang lain tidak bisa melihat dirinya.
“Pak, apakah kamu sudah mendengar berita meninggalnya pasangan suami istri Reginson dari Kota Murbua?” sang istri bertanya pada suaminya si pengusaha.
“Iya. Aku turut berduka atas kejadian itu. Usaha mereka sepertinya belum menemukan penerusnya. Aku harap putra mereka bisa melanjutkan usaha kedua orang tuanya. Bukan hanya soal bisnisnya, tapi juga meneruskan kebaikan-kebaikan yang mereka itu perbuat pada banyak orang.”
Bimbali tertegun. Pasangan suami istri ini pastilah mitra bisnis ayah ibunya. Tapi apa yang mereka katakan barusan, meneruskan usaha, bukan hanya bisnisnya, tapi juga meneruskan kebaikannya....
Bimbali memejamkan matanya, kali ini, karpet biru ajaib warisan kedua orang tuanya membawanya ke lain tempat lagi.
Bimbali kini ada di rumah Paman Revi. Ia adalah seorang petugas kebersihan di salah satu kantor ayahnya. Bimbali mengenali Paman Revi sedari kecil. Waktu itu Bimbali sering ikut ayahnya ke kantor dan cukup sering bermain bersama Paman Revi. Bimbali juga pernah menjenguk Paman Revi waktu ia sakit. Setahu Bimbali, Paman Revi sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Bimbali melihat banyak orang berkumpul di salah satu ruangan. Bimbali penasaran. Ia segera ke sana. terlihat Paman Revi terbaring sakit dikelilingi anak cucunya.
“Anak-anakku, Bapak ingin bercerita sedikit,” katanya.
“Ada satu cerita yang belum Bapak bagikan pada kalian. Tapi Bapak ingin kalian tahu bahwa ada satu keluarga yang selalu baik pada kelarga kita. Ah, bahkan bukan hanya pada Bapak, tapi juga karyawan kantor lainnya.”
“Bapak ingin mewarisi kebaikan beliau. Kalian tahu, kebaikan yang Bapak terima bermakna besar bagi kehidupan keluarga kita. Bapak dibantu biaya pengobatan, biaya sekolah anak-anak, biaya perbaikan rumah saat musim dingin. Kalaulah umur Bapak tidak cukup panjang untuk meneruskan kebaikannya, Bapak harap kalian bisa menjadi penerus kebaikan itu.
Bimbali tertegun. Ia melihat kalender di dinding dan ternyata memang waktu seolah berjalan mundur pada waktu Paman Revi sakit keras sampai akhirnya meninggal.
Bimbali kembali terlempar ke tempat lainnya. Kali ini sebuah perkampungan kumuh.
Bimbali berjalan menyusuri jalan setapak yang tergenang sisa air hujan. Terdengar suara tangis anak kecil dari salah satu rumah. Bimbali mengabaikannya. Ia terus melaju mengikuti kata hatinya. Bimbali sampai pada sebuah pasar malam sekaligus pertunjukan karnaval sirkus luar negeri yang menarik dan cukup dinikmati. Ia pikir, uang emasnya lebih dari cukup untuk hidup beberapa hari ke depan jika hanya dikeluarkan untuk membeli tiket sirkus. Bimbali mengantri untuk membeli tiket.
Hatinya tidak tenang.
Bimbali terngiang tangisan yang tadi ia dengar.
Bimbali memutuskan keluar dari baris antrian. Ia mencari rumah mana yang tadi terdengar suara tangisan. Pikiran ini ternyata cukup mengganggunya.
Bimbali menemukan rumah yang ia maksud. Tangis anak itu perlahan mengecil. Namun ia dengar senandung pilu yang dinyanyikan sang ibu untuk menidurkan anaknya.”Tidur anakku sayang, semoga esok kita bisa makan....”
Bimbali iba. Ia melihat kantong uang dalam genggamannya. Ia tidak tahu berapa keping emas yang ada di kantongnya. Namun ia juga ragu, ia tidak tahu sampai kapan ia bisa hidup tanpa bekerja.
Bimbali memejamkan mata, ia mengingat perjalanan yang baru saja dilaluinya.
Ia ingat kata-kata meneruskan kebaikan. Ia ingat ayah dan ibunya yang membantu kehidupan Paman Revi.
Mata Bimbali berkaca-kaca. Ia membulatkan tekad, menghapus keraguan dalam hatinya. Ah, kupikir setidaknya masih ada persediaan makanan untuk beberapa hari ke depan. Aku bisa minta diajarkan bagaimana melanjutkan usaha ayah dan ibu atau mencari pekerjaan lain.
Tok tok!
Seorang perempuan membuka pintu. Anaknya yang baru saja tidur masih dalam gendongannya.
“Bu, aku ada sedikit untuk Ibu dan keluarga. Dibelikan untuk makanan yang sehat dan bergizi ya Bu. Agar anak Ibu tubuh sehat dan kuat.”
Si Ibu menatap Bimbali tak percaya. Matanya berkaca-kaca.
Sedetik kemudian, Bimbali sudah ada di rumahnya lagi.
Di atas karpetnya ada sebuah surat,
Bimbali kembali menangis, kali ini sambil tersenyum.
Sayangnya, Bimbali yang sejak kecil sudah hidup berkecukupan menjadi malas-malasan. Ia selama ini hanya mengandalkan apa yang sudah dimiliki orang tuanya. Orang tuanya pun kebingungan bagaimana caranya agar Bimbali mau berusaha dan bekerja keras.
Dalam kondisi yang serba enak, tiba-tiba Bimbali mendapat berita duka. Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan tunggal yang membuatnya yatim piatu. Bimbali sangat sedih. Belum ada keahlian yang ia pelajari dari kedua orang tuanya.
Sepulang dari pemakaman, Pamannya menghampiri Bimbali dan memberikan surat wasiat.
Anakku, ada sebuah karpet dan sekantung kecil emas yang Ayah simpan di tumpukan paling bawah lemari pakaian Ayah. Kalau kau bisa menemukan kebajikan setelahnya, Ayah yakin kamu mampu mengelola usaha Ayah jika Ayah telah tiada. Jika tidak, Ayah tahu siapa yang lebih berhak mengelolanya.
Bimbali sangat sedih atas kematian kedua orang tuanya. Selain sedih, ia juga cemas dengan kelanjutan hidupnya karena ia tahu dirinya belum menguasai ilmu perdagangan. Bimbali tidak pernah tahu di mana ayahnya menyimpan harta kekayaannya. Cepat ia pulang ke rumah dan membuka lemari pakaian ayahnya. Di sana, ia menemukan karpet biru kecil beserta sekantung logam emas yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Bimbali menggelar karpet kecil itu dan duduk di atasnya. Tanpa sadar, Bimbali menangis kembali sampai tertidur. Ia tidak tahu bahwa karpet yang dipakainya adalah karpet ajaib.
Bimbali terjaga dari tidurnya dan menyadari bahwa ia kini ada di tempat lain. Ia berada di rumah seorang pengusaha dari negeri tetangga. Ia bisa melihat keadaan sekitar namun ternyata orang lain tidak bisa melihat dirinya.
“Pak, apakah kamu sudah mendengar berita meninggalnya pasangan suami istri Reginson dari Kota Murbua?” sang istri bertanya pada suaminya si pengusaha.
“Iya. Aku turut berduka atas kejadian itu. Usaha mereka sepertinya belum menemukan penerusnya. Aku harap putra mereka bisa melanjutkan usaha kedua orang tuanya. Bukan hanya soal bisnisnya, tapi juga meneruskan kebaikan-kebaikan yang mereka itu perbuat pada banyak orang.”
Bimbali tertegun. Pasangan suami istri ini pastilah mitra bisnis ayah ibunya. Tapi apa yang mereka katakan barusan, meneruskan usaha, bukan hanya bisnisnya, tapi juga meneruskan kebaikannya....
Bimbali memejamkan matanya, kali ini, karpet biru ajaib warisan kedua orang tuanya membawanya ke lain tempat lagi.
Bimbali kini ada di rumah Paman Revi. Ia adalah seorang petugas kebersihan di salah satu kantor ayahnya. Bimbali mengenali Paman Revi sedari kecil. Waktu itu Bimbali sering ikut ayahnya ke kantor dan cukup sering bermain bersama Paman Revi. Bimbali juga pernah menjenguk Paman Revi waktu ia sakit. Setahu Bimbali, Paman Revi sudah meninggal beberapa tahun lalu.
Bimbali melihat banyak orang berkumpul di salah satu ruangan. Bimbali penasaran. Ia segera ke sana. terlihat Paman Revi terbaring sakit dikelilingi anak cucunya.
“Anak-anakku, Bapak ingin bercerita sedikit,” katanya.
“Ada satu cerita yang belum Bapak bagikan pada kalian. Tapi Bapak ingin kalian tahu bahwa ada satu keluarga yang selalu baik pada kelarga kita. Ah, bahkan bukan hanya pada Bapak, tapi juga karyawan kantor lainnya.”
“Bapak ingin mewarisi kebaikan beliau. Kalian tahu, kebaikan yang Bapak terima bermakna besar bagi kehidupan keluarga kita. Bapak dibantu biaya pengobatan, biaya sekolah anak-anak, biaya perbaikan rumah saat musim dingin. Kalaulah umur Bapak tidak cukup panjang untuk meneruskan kebaikannya, Bapak harap kalian bisa menjadi penerus kebaikan itu.
Bimbali tertegun. Ia melihat kalender di dinding dan ternyata memang waktu seolah berjalan mundur pada waktu Paman Revi sakit keras sampai akhirnya meninggal.
Bimbali kembali terlempar ke tempat lainnya. Kali ini sebuah perkampungan kumuh.
Bimbali berjalan menyusuri jalan setapak yang tergenang sisa air hujan. Terdengar suara tangis anak kecil dari salah satu rumah. Bimbali mengabaikannya. Ia terus melaju mengikuti kata hatinya. Bimbali sampai pada sebuah pasar malam sekaligus pertunjukan karnaval sirkus luar negeri yang menarik dan cukup dinikmati. Ia pikir, uang emasnya lebih dari cukup untuk hidup beberapa hari ke depan jika hanya dikeluarkan untuk membeli tiket sirkus. Bimbali mengantri untuk membeli tiket.
Hatinya tidak tenang.
Bimbali terngiang tangisan yang tadi ia dengar.
Bimbali memutuskan keluar dari baris antrian. Ia mencari rumah mana yang tadi terdengar suara tangisan. Pikiran ini ternyata cukup mengganggunya.
Bimbali menemukan rumah yang ia maksud. Tangis anak itu perlahan mengecil. Namun ia dengar senandung pilu yang dinyanyikan sang ibu untuk menidurkan anaknya.”Tidur anakku sayang, semoga esok kita bisa makan....”
Bimbali iba. Ia melihat kantong uang dalam genggamannya. Ia tidak tahu berapa keping emas yang ada di kantongnya. Namun ia juga ragu, ia tidak tahu sampai kapan ia bisa hidup tanpa bekerja.
Bimbali memejamkan mata, ia mengingat perjalanan yang baru saja dilaluinya.
Ia ingat kata-kata meneruskan kebaikan. Ia ingat ayah dan ibunya yang membantu kehidupan Paman Revi.
Mata Bimbali berkaca-kaca. Ia membulatkan tekad, menghapus keraguan dalam hatinya. Ah, kupikir setidaknya masih ada persediaan makanan untuk beberapa hari ke depan. Aku bisa minta diajarkan bagaimana melanjutkan usaha ayah dan ibu atau mencari pekerjaan lain.
Tok tok!
Seorang perempuan membuka pintu. Anaknya yang baru saja tidur masih dalam gendongannya.
“Bu, aku ada sedikit untuk Ibu dan keluarga. Dibelikan untuk makanan yang sehat dan bergizi ya Bu. Agar anak Ibu tubuh sehat dan kuat.”
Si Ibu menatap Bimbali tak percaya. Matanya berkaca-kaca.
Sedetik kemudian, Bimbali sudah ada di rumahnya lagi.
Di atas karpetnya ada sebuah surat,
Nak, Ayah yakin Kamu akann jadi pimpinan perusahaan yang hebat. Ilmu usha bisa kamu cari. Kebaikan hati perlu diciptakan dan dibiasakan. Setinggi apapun usaha ini, sebanyak apapun keuntungan yang diperoleh, jangan pernah berhenti berbuat baik.Teruskan usaha Ayah dan Ibu.
Bimbali kembali menangis, kali ini sambil tersenyum.
Subscribe to:
Posts (Atom)